Cerpen Padang Ekspres

April 5, 2009

Sumarni dan Sepeda Mini

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 8:25 am
Tags:

Cerpen Ihsan Yauma

Tirai malam terkuak seiring kemunculan matahari. Seorang gadis kecil nan cantik melompat dari tempat tidurnya bergegas menuju gudang. Dulunya gudang itu dijadikan tempat penyimpanan beras. Namun kemudian dibiarkan kosong semenjak hari naas itu. Kini gudang itu menjadi rumah bagi sepeda mini milik Sumarni. Keranjang tak bertangkai yang terpasang di antara dua gagang sepeda itu pada malam hari dibiarkannya kosong. Pagi harinya selalu diisinya dengan beberapa helai pakaian. Begitu setiap hari.
Dengan tergesa-gesa Sumarni melepaskan rantai yang melilit jari-jari sepedanya. Matanya tak pernah berhenti berputar mengawasi keadaan sekitar. Ia seakan dikejar-kejar sesuatu. Padahal tak ada apa pun di dalam gudang itu selain ia dan sepeda mininya. Hari masih pagi. Udara belum menyengat. Dahi Sumarni malah berkeringat.
Sejurus kemudian rantai itu berhasil dilepasnya. Sumarni menggiring sepeda itu meninggalkan gudang. Sampai di luar Sumarni menghela napas panjang. Sangat panjang. Matanya terpejam. Hidungnya kembang-kempis. Keringat di dahinya semakin banyak hingga mengaliri batang hidungnya. Saat matanya terbuka, tanpa pikir panjang Sumarni menaiki sepeda mininya. Segenap tenaga dikerahkannya mengayuh sepeda itu sehingga lajunya sangat kencang. Rambut panjangnya yang tergerai berkibar mengikuti jalan angin. Dalam kecepatan penuh itu, sesekali Sumarni menoleh kebelakang. Sekedar memastikan tidak ada seorang pun yang mengikutinya.
Penghuni jalan masih didominasi para pejalan kaki. Hanya beberapa kendaraan bermotor yang melintas. Milik orang yang lumayan berada. Sangat kampung sekali. Jalan pun belum diaspal dan mungkin tidak akan pernah. Di atas jalan yang masih berstruktur tanah itu lah sepeda mini Sumarni berlari kencang. Tak peduli ada atau tidak pejalan kaki di depannya. Perkara tabrakan bukan urusannya sekalipun kemungkinan terburuk tubuhnya terlempar hingga kepala terhempas ke sebuah batu, atau orang yang ditabraknya tewas seketika. Sumarni hanya ingin melaju. Jauh. Semakin jauh. Dan menghilang. (more…)

Maret 15, 2009

Keluarga Makmur

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 4:45 am
Tags:

Cerpen Nelson Alwi

KETIKA Insan dan Ibnu berlarian pulang ke rumah dan berkali-kali meneriakkan bahwa Si Makmur ditabrak sepeda motor, aku kaget bukan kepalang. Namun kekagetanku mendadak diluruhkan oleh kesadaran yang pelan-pelan melahirkan rasa sesal: tidak semua lawakan di rumah-tangga layak diketahui anak-anak.
“Memang susah sekarang,” ujar tetanggaku yang tertimpa musibah itu pada suatu kali, sewaktu bertandang ke rumahku. “Untung sejak tugas di bandara aku rajin menabung. Selain dapat mengambil rumah di sudut, aku sempat pula membeli sawah-ladang serta dua ekor kerbau di kampung. Seratus-lima-puluh emas. Bunga uang yang kudepositokan… itulah yang meringankan bebanku kini….” (more…)

Maret 8, 2009

Parang Yang Jatuh

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 5:08 am
Tags:

Cerpen Deddy Arsya

Seusai hujan semalam, jalan tanah setapak itu tentu akan menjadi licin. Beberapa genangan tentu juga akan terbentuk. Sementara rumput-rumput di sisi kiri dan kanan jalan akan kembali menegang dan segar setelah disangai panas cukup lama. Musim kemarau  mungkin telah berakhir oleh hujan itu.
Pagi itu seekor tupai, seperti tengah merayakan pergantian musim, terlihat melompat dari batang marapalam menuju pohon aur yang rimbun di bibir jalan. Titik-titik air bergeraian jatuh dari dahan-dahan aur yang bergoyang. Beberapa rantingnya yang telah mati ikut jatuh.
Di sisi kiri jalan setapak itu berbatas lembah yang agak curam, dibatasi semak dan belukar tipis. Sementara di sisi kanannya berbatas bukit-bukit berderet panjang. Di jalan setapak itu nanti, jalan setapak yang dari waktu ke waktu terasa semakin mengecil oleh semak belukar yang tumbuh di sisi-sisinya, beberapa saat lagi Sainal akan berjalan. Bocah itu kini pergi mengambil karung plastik ke kolong rumah disuruh ayahnya. Rumah anjung di kaki bukit itu, yang di sisi belakangnya seekor sapi tengah bergelung di dalam sebuah kandang. Rencananya bocah itu akan ke rimba pagi ini bersama ayahnya. Sudah lama mereka tak ke parak (kebun) nun yang berada jauh di puncak rimba sana. Mungkin pala dan kopi telah ada yang masak, pinang sudah bisa diambil,  maka karung plastik itu dipersiapkan sebagai tempatnya nanti. (more…)

Maret 1, 2009

Main Anak Kambing

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 5:44 am
Tags:

Cerpen Andi Asrizal

Bermula dari tatapan yang tak putus-putus, ia mengetahui sosok itu.  Mungkin persis tatapan kambing yang melayap di tengah rumput hijau. Seperti yang dulu pernah dikatakan ibunya saat ia kecil mengembala, “Jangan sekali-kali kau menatap seseorang seperti kambing yang dihadapkan oleh daun-daun hijau.”
Sekarang telah dewasa dan bekerja. Ia masih tak tahu jika yang tengah memperhatikannya itu adalah mata kambing. Punya tatapan seperti kambing. Ia tak peduli. Ia hanya bersibuk membuka lembar-lembar koran yang barusan dibelinya pada anak ingusan yang sepertinya tak tahu betul apa yang sedang dijualnya.
Anak itu bilang, “Bang, Mbak, berita hari ini bagus-bagus.” Sepanjang lorong dan dari gerbong ke gerbong suaranya tetap sama, “Bang, Mbak, berita hari ini bagus-bagus.” Mungkin itu sebab korannya lebih cepat habis dibanding koran anak-anak lainnya. Ia tersenyum membayangkan berita seperti apa yang menurut anak itu bagus. Pembunuhankah? Pemerkosaankah? Korupsikah? Atau teror bom? Ia tersenyum, “Seperti jualan keset kaki saja.”
Matanya meneliti tiap lembar kolom koran, tiap berita, dan ia belum menemukan yang menarik. Sampai di akhir halaman koran itu, ia menemukan sosok artis idolanya bersama beberapa ekor kambing. Artis itu diberitakan tengah memilih kambing-kambing untuk hari raya korban dan akan dibagikan kepada tetangga-tetangganya. Tampaknya ia tertarik.
Namun, belum lekat matanya pada barisan huruf–huruf kecil itu, sekelabat saja matanya temlaung, rupanya seseorang memberinya senyum. Ia membalas. (more…)

Februari 22, 2009

Cerita Dari Kampung Kami

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 5:01 am
Tags:

Cerpen Farizal Sikumbang

Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, malam seperti hantu di kampung kami. Kala itu listrik belum ada. Sebagai penerang hanyalah lampu petromak yang tergantung di tengah rumah. Rumah-rumah pun masih berjarak, yang dibatasi oleh rimbun semak dan batang-batang pohon besar. Pergi dari satu rumah ke rumah lain seperti melintasi rimba. Kami pun selalu pergi bersama. Tak ada yang pergi sendiri-sendiri. Maklum binatang buas masih banyak berkeliaran. Kalau tak ada harimau, babi, atau ular.
Waktu itu adalah tahun-tahun yang sulit untuk transportasi. Jika ke kota kami biasanya menumpang pedati yang membawa sayur-sayuran. Tapi biasanya lebih banyak orang-orang yang berjalan kaki. Berjalan kaki membutuhkan waktu seperempat hari. Di masa  itu angkutan kota memang sangatlah langka. Kalaupun ada itu hanya satu sampai dua. Aku ingat itu sekitar tahun tujuh puluh lima.
Akhirnya, suatu hari, petaka di kampung kami tiba, ini dikarenakan  tidak lagi hanya malam di kampung kami seperti hantu, tapi juga siang hari. Kekacauan Ini disebabkan oleh sebuah kabar. Kabar yang menakutkan. Lebih menakutkan bertemu macan atau hantu sekalian. Demikian takutnya, hingga siang hari tidak ada lagi kerja para orangtua selain mengurung anaknya di dalam rumah. Jika dilukiskan, suasana ketika itu begitu mencekam. (more…)

Februari 15, 2009

Anak Ibu yang Kembali

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 4:33 am

Cerpen Benny Arnas

DI antara pendar-pendar cahaya jingga lampu teplok di atas lemari kayunya, seorang ibu tua menatap foto hitam-putih yang memburam di dinding geribik kamarnya. Di foto itu, di antara putri-putri mereka yang masih kecil-kecil, seorang lelaki paruh baya duduk di sampingnya. Suami. Begitulah dulu, laki-laki itu menyandang status terhadapnya. Laki-laki yang—ah, banyak menyisakan kepedihan sekaligus kerinduan di dadanya. Bersamanya, si Ibu tua beranak lima. Perempuan semua. Dan, itulah perkara yang selalu membuat suaminya terserla dalam setiap ingatannya. Suaminya sangat menginginkan keturunan laki-laki.
Ah, itu tak disebabkan karena suaminya tidak menginginkan keturunan perempuan. Walaupun dipikirkannya jua bahwa mungkin saja, suaminya tidak seanti itu pada ketentuan yang berlaku terhadap kelamin anak-anaknya, bila ada satu saja dari mereka yang dapat disebut pejantan. (more…)

Februari 8, 2009

Pelajaran Menggambar

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 7:15 am
Tags:

Cerpen Romi Zamran

Setiap ia selesai memeriksa buku-buku gambar itu lalu mengembalikannya ke tumpukan semula, setiap itu pula ia akan menghela nafas. Panjang. Perlahan ia hembuskan, lalu ia akan heran. Ia heran kenapa mereka selalu menggambar tentang hal yang sama. Ia heran kenapa gambar mereka selalu mirip antara yang satu dengan yang lainnya. Kadang ia sengaja membanding-bandingkannya. Tak ada beda. Dua gunung tegak menjulang. Di tengah-tengahnya ada gambar matahari. Dan di kiri-kanan jalan menuju gunung, petak-petak sawah membentang.
Kadang ia ingat-ingat apakah ia pernah menyuruh mereka untuk menggambar tentang hal yang sama. Kadang ia ingat-ingat apakah ada yang salah dalam setiap pelajaran yang diberikannya. Tapi setiap ia mengingat-ngingat tentang semuanya, setiap itu pula ia merasa tak ada yang salah. Malahan di depan kelas ia sering berkata, “Gambarlah tentang apa saja. Terserah!”
Dan mereka, dengan serta-merta akan mengeluarkan buku gambar, pensil, penghapus, penggaris… (more…)

Februari 1, 2009

Kampung Dalam Diri*

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 7:03 am
Tags:

Cerpen Delvi Yandra
Marzuki terus menatap sebuah miniatur rumah gadang yang terpajang di dalam etalase sebuah toko yang menjual barang-barang mewah. Beberapa barang mewah yang terbuat dari Kristal dan metalik tertata dengan apik. Namun, kedua bola mata Marzuki enggan berpaling dari miniatur rumah gadang yang berdiri kokoh itu.
Sesaat kemudian, ia membayangkan Mande yang sedang duduk menampi beras di jenjang rumah gadang tersebut. Marzuki menampik, mengusir dan menghilangkan segala kenangan buruk tentang rumah gadang dan kampung halamannya. Bahkan, kini ia cukup menyesal dengan pilihannya untuk merantau ke Ibukota. Padahal sudah sering Marzuki mendengar cerita-cerita, baik di lepau atau di Balai, kalau hidup di Ibukota itu bisa lebih makmur dan cepat kaya raya. Tapi kenyataannya lain. Tak sesuai dengan perkiraan Marzuki.
Kini, tak guna menyesal. Semua telah ia jalani. Ibukota dan segala hiruk pikuk keramaiannya tampak di hadapan Marzuki. Mau tidak mau ia harus menerima dan berlapang dada.
Tentu saja, ia masih teringat ngiang nasehat Mande. Kata-kata itu tak pernah putus, seperti benang sulaman dari Pandai Sikek. Benang sulaman milik perempuan-perempuan berbaju kurung yang  menyulam di anjung rumah gadang.
***
“Nak, usah engkau risaukan Mande. Kalau memang ini sudah menjadi pilihan, merantaulah. Abak pun tak akan bersusah hati. Lagipula tak baik engkau berlama-lama tinggal di rumah gadang ini. Apa kata orang nanti. Ada-ada saja gunjingan yang tak sedap akan merambat ke telinga orang-orang di kampung kita. Biar Mande yang akan mengurus semuanya. Segala keperluanmu sudah dipersiapkan Si Sap. Kalau sudah sampai di Ibukota jangan lupa kasih kabar. Berkirim surat pun tak apa.”
Selepas mencium tangan Mande, ia pun berangkat. Sebuah ciuman yang membikinnya terus bersemangat. Begitulah, Mande melepas kepergian anak satu-satunya itu dengan penuh keikhlasan. (more…)

Januari 25, 2009

Dua Bujang

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 5:54 am
Di kampung kami, banyak sekali laki-laki yang bernama Bujang. Maka, jika kau mempunyai seorang kenalan yang mengaku bernama Bujang, kami yakin dia pasti berasal dari kampung kami. Dan, jika suatu waktu kau memutuskan untuk mencarinya dengan berkunjung ke kampung kami dan menanyakan tentang Bujang yang kaukenal itu, maka kau tentu akan kebingungan karena ornga-orang akan balik bertanya padamu: ”Bujang yang mana?” – bukan karena mereka tak kenal, melainkan karena mereka hanya ingin memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Si Bujang yang kau maksud.

Sebenarnya, Bujang hanyalah nama panggilan. Laki-laki yang panggil Bujang juga memiliki nama seperti nama-nama di kampung kalian. Tapi, kebanyakan nama panggilan mereka justru lebih populer ketimbang nama mereka yang sebenarnya. Bahkan, orang-orang kampung mungkin tak tahu siapa sebenarnya nama Si Bujang yang mereka kenal. (more…)

Januari 18, 2009

Julo-julo Incim

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 4:46 am
Tags:
Cerpen Ilham Yusardi
(I)
Upik Uban tegak mematung di depan daun pintu rumah Incim. Tak yakin, tapi dikeraskan juga hatinya mengetuk pintu.
“Assalamualaikum…, Incim!” Suara Parau keringnya bergelegar.
“Ya…, tunggu. Siapa?” Sipongang suara teredam ruangan rumah. Tak lama, ringkik daun pintu terkuak, seiring muncul perempuan paruh baya, dengan pakaian rumah seadanya.

“Eee, Upik Uban kiranya. Kabar apa, Pik? Lama tak hinggap kau ke sini. Ayo masuk” Incim menyila Upik Uban untuk duduk. Upik Uban melangkah masuk. Beberapa langkah, dengan sedikit sungkan, Upik Uban melorotkan badannya di sofa yang masih berbungkus plastik.
“Baru sofa, Ncim?” Celetuk Upik Uban, membuka obrolan.

“Seminggu. Tukar tambah” Jawab Incim sekenanya. Bergegas Incim ke belakang. Upik Uban terkesan dengan ruang itu. Tiga meter dari tempat ia duduk, tivi layar datar tipis seakan lekat ke dinding. Kiri-kananya berdiri speker berhias bunga anggrek plastik. Di sudut antara sofa berdiri guci keramik setinggi orang, bertuliskan kaligrafi.

Dinding kiri tertempel pigura cantik, foto Incim dan suami tersenyum seukuran tivi.  Pohon anggur plastik, menjalar, berjuntai-juntai di pembatas ruang yang terbuat dari rotan. Kaki Upik Uban pun tak bisa membutakan permadani Turki yang tebal dan empuk. Kulit Upik Uban termanjakan oleh udara sejuk yang disebar pendingin ruangan. Upik Uban menelan ludah pekatnya. (more…)

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.