Cerpen Padang Ekspres

November 23, 2008

Nenek Hidup Lagi

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 5:38 am
Tags:

Cerpen Benny Arnas

WALAUPUN baru 3 minggu menghuni kampung baru ini, tapi sudah cukup banyak kegiatan dan momen yang kami lewati bersama masyarakatnya. Kami begitu cepat diterima di sini, dan ayah adalah orang yang paling bahagia karenanya.
“Mereka tak mengenali buronan, Bu?” kata ayah.
“Bagaimana mereka mengenalimu, kalau televisi saja tak ada di sini, Yah,” sahut ibu.
Kami tertawa lepas.
* * *
KAMI pernah menghadiri acara pernikahan anak tunggal Haji Jakun, orang terkaya di kampung ini. Kami juga telah diundang untuk menggunakan hak pilih kami dalam pemilihan Kades satu minggu yang lalu. Sepuluh hari yang lalu, kami pun menjadi bagian dari barisan panjang di pinggir jalan besar kampung ini ketika Bupati diarak keliling kabupaten memamerkan Piala Adipura yang diraih untuk yang ke-empatkali-nya secara berturut-turut.
Dan baru dua minggu yang lalu, kami juga berbaur dengan mereka yang bersuka ria merayakan Idul Fitri. Tapi, sungguh, aku tak pernah melihat kampung dalam keadaan sesibuk ini. Riuh sana-sini, seakan semua terlibat –bahkan ada yang memaksakan diri untuk terlibat— dalam suatu siklus kehidupan manusia-manusia bumi: kematian!
Sungguh, aku takkan pernah percaya pada kata-kata ibu, kalau hari ini aku tak menyaksikan revolusi arah tujuan persinggahan, revolusi topik pembicaraan, dan revolusi ekspresi besar-besaran warga kampung ini.
“Semua orang kampung ini hormat pada Nenek,” kata ibu, tepat di awal kepindahan kami, ketika kubertanya mengapa beliau ngotot sekali ingin sowan ke tempat wanita yang sudah tua renta, yang katanya berumur 80-an, yang biasa dipanggil Nenek oleh warga –yang bahkan ibu pun sudah ikut-ikutan memanggilnya dengan nenek pula. Aneh!
“Kau tadi ke mana, Jo?” tanya ayah ketika suatu hari mendapatiku pulang menjelang malam. Walaupun tak ditampakkan, tapi aku tahu hari itu ayah dan ibu marah padaku, karena aku tiba-tiba menghilang ketika mereka mengajakku ke rumah Nenek siang harinya. Tapi itulah kedua orangtuaku. Setelah beberapa saat, mereka sudah berlaku layaknya tak ada masalah.
Beberapa hari yang lalu, setelah sholat magrib berjama’ah —hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya— kami berkumpul di meja makan. Ayah banyak bercerita tentang Nenek. Keramahannya, keshalehaannya, kedermawanannya, kepeduliannya, dan hal-hal baik lainnya. Telingaku seperti dipaksa mendengarkan cerita yang menurutku lebih berwujud dongengan tersebut. Tapi entah mengapa. Lucunya, lama kelamaan aku dapat menikmatinya, bahkan melebihi keasyikan menyantap pepes ikan yang tercacah-cacah di piringku.
Ah ayah, mengapa koruptor sepertimu tiba-tiba berbicara materi-materi langit. Ibu, perempuan yang ditakdirkan bersamamu pun bahkan seperti kerbau yang ditusuk hidungnya, mengaminkan setiap sikap dan ucapanmu. Mereka bertaubat. Ah, hanya dugaanku.
Dan hari ini, wanita tua yang mereka agung-agungkan tersebut telah pergi untuk selama-lamanya. Nenek meninggal dunia pagi tadi.
* * *
AKU menangis walaupun hanya dalam hati. Aku menyesal walaupun tak tergurat di air muka. Aku jatuh walaupun aku masih bisa memapas leliku jalan yang ada. Aku bukan sedih karena kematian Nenek, tapi mengutuk diri yang tak sempat melihat langsung bagaimana sifat dan sikap baiknya ia tujukan pada setiap orang yang berkunjung ke rumahnya, atau sekadar bertemu dengannya di jalan.
Tiba-tiba rasa bersalahku membumbung tinggi. Semakin dalam dirasa, semakin rapat juga tersimpan, mulutku seakan-akan terkunci. Aku mati ekspresi.
“Nenek sudah dikubur, Jo,” ayah berujar seakan-akan tengah menjawab pertanyaan dariku. Aku hanya mengangguk kecil sebelum diam-diam beringsut ke gudang kedap suara di belakang dan meraung sejadi-jadinya.
* * *
HAMPIR seminggu setelah kematian Nenek, ayah dan ibu tak berjeda hilir mudik ke kerumunan tetangga, ke masjid, dan tentu saja ke kuburan Nenek. Mereka tak punya waktu untukku. Apalagi setelah 2 hari yang lalu, mereka sibuk ke Selatan, kebiasaan baru yang juga dijabani oleh hampir seluruh penduduk di kampung ini, termasuk kampung tetangga. Setelah cukup lama kunantikan waktu senggang mereka, —dan mereka pun tampaknya tak akan memilikinya—, aku memutuskan bertanya perihal Nenek kepada seorang lelaki tua yang duduk sendirian di dalam Masjid.
“Engkau sudah ke makamnya?”
Aku menggeleng.
“Berapa usiamu, Nak?”
“Apakah ada batasan umur untuk mendengarkan cerita darimu?” aku balik bertanya.
Pak tua itu tersenyum, ia menggeleng kecil.
“Bulan depan 16 tahun, Pak?” kuberitahu juga akhirnya. “Mmm… bagaimana? Bapak bisa bercerita?” tagihku.
Hening.
“Pergilah ke sudut mana pun dari kampung ini. Rumput teki pun jadi coklat ketika Nenek meninggal dunia,” Pak tua memecah senyap.
“Ceritakanlah padaku perihal yang baik-baik tentang dirinya, Pak.”
“Heh,” Pak tua setengah tertawa, “Memangnya keburukan apa yang melekat padanya? Kalaupun ada, itu hanya karangan saja.”
Aku menekur wajah yang tiba-tiba memerah.
Kembali Hening.
Kulihat Pak Tua menatap mega. Ia menerawang jauh, jauh sekali. Tiba-tiba setiap penggal cerita yang dituturkannya merangkai bagian-bagian film yang seakan-akan tengah diputar ulang. Ada layar tancap di hadapan kami. Baru kali ini aku tahu kalau Nenek juga pemain film. Kami menonton dengan begitu khusyuk. Kami bahagia sekali sampai menangis tersedu-sedu. Pak tua itu terus saja bercerita.
* * *
NENEK hidup sebatang kara. Tapi itu hanya secara garis darah. Sejatinya, semua penduduk kampung ini adalah keluarganya. Lebih tepatnya, penduduk kampunglah yang menganggap mereka memiliki seorang Nenek.
Sebenarnya tak adalah yang layak disebut sebagai keistimewaan dari seorang renta seperti beliau. Nenek hanya seorang guru ngaji, yang mengajar ratusan anak-anak ba’da Isya dengan bayaran sukarela seratus perak per hari yang dimasukkan murid-muridnya ke dalam kotak kayu kecil yang tak berkunci. Tapi, kharismanya-lah yang membuat kami merasa begitu tiada apa-apanya ketika berhadapan dengan beliau. Mungkin, keikhlasannya dalam beramal-lah yang membuatnya memiliki derajat seperti itu.
“Nenek membutuhkannya untuk menyambung napas saja, Nak,” jawab Nenek ketika ditanya iuran ngaji yang begitu kecil.
“Bagaimana Nenek membeli baju, atau untuk sebuah Al Qur’an murahan sekalipun?” tanya kami antusias.
“Apa yang dimakan hari ini, itulah milik Nenek. Selebihnya itu bukan milik Nenek, tapi hak orang lain,” jawabnya lembut.
Kami yang sedari tadi menanyainya terpekur. Tak menunggu lama, kami mengucap salam, pamitan ke rumah masing-masing. Tak ada yang berbahasa. Sampai kata-kata Nenek itu hilang dalam ingatan kami.
Sejak saat itu, tak ada lagi yang memberikan Nenek sejumlah uang, sayur-mayur segar, gulai kambing, atau baju layak pakai. Memang selama ini pemberian-pemberian itu selalu diterimanya. Tapi bukan rahasia lagi kalau semuanya beliau berikan kepada murid-muridnya yang penyemir sepatu, pengemis, atau anak-anak yang membutuhkan lainnya.
Di waktu-waktu tertentu, Nenek acapkali tampak ketika ada warga yang mengadakan hajatan. Biasanya Nenek membawakan tuan rumah pisang, nenas, atau buah lainnya yang dipetik dari kebun di belakang rumahnya. Dan seperti sudah mentradisi, ketika orang-orang mendengar beliau tengah menuju ke suatu tempat hajatan, orkes pun segera dihentikan, dan para tamu yang tertawa lepas tiba-tiba mengunci mulut mereka rapat-rapat. Dapat dipastikan, dari anak-anak hingga orangtua, tak akan ada yang melewati beliau tanpa terlebih dahulu dengan takzim mencium tangan kanannya.
Nenek juga tak pernah absen membesuk ketika ada penduduk yang sakit. Biasanya beberapa hari setelah itu, keadaan orang-orang yang dibesuknya berangsur membaik. Pun biasanya beberapa hari setelah kedatangannya, orang-orang yang sulit meninggal akan menemui ajalnya tanpa hambatan.
“Nak, bukan karena Nenek semuanya berlaku, tapi Gusti Allah-lah yang menghendakinya,” kata Nenek, ketika keluarga yang dikunjungi, menunduk-nunduk sebagai ungkapan rasa terimakasih mereka kepada Nenek karena sembuhnya atau dengan mudahnya meninggal salah satu dari anggota keluarga mereka.
Ketika Nenek melayat ke rumah orang yang meninggal dunia, lagi-lagi seperti sudah mentradisi, ahli rumah akan segera menyimpan aneka makanan dan minuman yang telah disiapkan untuk para pelayat yang membaca Yaasin. Pernah suatu ketika, Nenek berbicara dengan nada dan tekanan yang lebih tinggi dari biasanya kala mendapati salah seorang penduduk tengah menghidangkan nasi rendang setelah tahlilan.
“Tak ada rimbanya, ketika orang dijemput Izrail, kita justru menjemput gula-gula di sana,” tegurnya kala itu.
“Nenek akan bertemu mereka di akhirat nanti,” itulah katanya, ketika banyak orang yang bertanya apakah ia tidak punya keinginan berkumpul dengan keluarga di akhir hayatnya nanti.
“Di surga ya, Nek?”
Nenek tersenyum kecil sebelum berujar, “Nenek tidak melihat mereka di sana.”
“Jadi keluarga Nenek tak ada yang masuk surga?”
Nenek kembali tersenyum. “Di akhirat nanti, Nak,” ia menghela napas sejenak. “Ketika semua digiring ke padang yang merapat dengan matahari.”
“O ya Nek, memangnya siapa yang Nenek lihat di surga?”
“Adakah satu di antara kami?” tanya yang lain
“Atau murid-murid ngaji Nenek?” yang lain menimpali.
Anak-anak ngaji sumringah menanti jawaban.
Nenek tersenyum.
Kami pun tersenyum.
Tiba-tiba Nenek berkedip pelan. Tepat ketika kelopak matanya menutup sempurna, buliran-buliran hangat sebesar biji jagung jatuh dari mata tuanya. Tanpa ekspresi,  Nenek menangis.
Tiba-tiba saja bulu kuduk kami merinding. Kami diserang ketakutan yang sangat. Saat itu, kami pamit tanpa mengucap salam.
* * *
“AKU sedih, Anak Muda,” lelaki beruban di hadapanku ini mengusap mata sembabnya. Ia baru saja  menyelesaikan ceritanya.
“Eh, eh, ya Pak,” aku baru sadar kalau layar tancap telah digulung.
“Hapus dulu,  Nak,” Pak tua itu menunjuk ke mataku yang basah.
Aku bergegas mengucek mata. Kami sama-sama tersenyum.
“Bapak seorang garin masjid di sini,” ia kembali menerawang. “Tadinya masjid ini begitu ramai. Nenek selalu bersama kami di masjid ini. Walaupun safnya berada jauh di belakang, tapi kami merasa seakan-akan ia yang menuntun kami untuk melakoni setiap gerakan sholat tersebut. Maklum, kami tahu bagaimana tata cara sholat dari beliau. O ya, Bapak dulu juga muridnya.”
Aku mengangguk dalam. Tiba-tiba aku ingin menangis lagi.
“Tapi lihatlah sekarang, hanya seminggu setelah meninggalnya Nenek,  aku sendiri yang terpekur di sini,” gurat-gurat kesedihan terlukis di wajahnya.
“Memangnya ke mana jama’ah masjid yang banyak itu, Pak?”
Belum sempat Pak tua itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara-suara yang memanggilku.
Ayah dan ibu sudah di pintu masjid.
Aku berpamitan dengan Pak tua itu. Kulihat mendung di wajahnya. Ia menangis lagi.
* * *
“KE MANA kita, Yah?”
“Ke Selatan,” ayah menjawab sekenanya.
“Ke tempat  Nenek,” ibu menimpali.
“Ke kuburan Nenek maksudnya?” tanyaku lagi.
Mereka tak menjawab. Langkah mereka makin besar. Aku kelelahan menjajarinya.
“Aku mau, Yah. Sekarang aku sudah percaya dengan cerita tentang kebaikannya.”
Mereka saling berpandangan, tapi hanya sejenak. Mereka bahkan mempercepat langkah.
Tak lama kemudian, kami memasuki sebuah hutan. Aku bergidik. Langkahku melambat, tapi ayah menarik paksa tanganku. Ibu pun tampak tak memedulikan napasku yang tersengal-sengal.
“Tandunya sudah kausiapkan, Bu?” Ayah menoleh pada ibu sejenak.  Langkahnya tidak melambat sedikitpun.
Ibu mengangguk.
“Untuk apa tandu, Yah?” aku memandang ayah penuh tanya.
Ayah diam. Ibu tersenyum kecut. Kami makin tergesa-gesa.
* * *
AKU hampir mati kelelahan, kalau ibu tak berseru bahwa kami sudah sampai. Aku masih mengatur napas ketika mataku menangkap keganjilan tempat ini. Kulihat kuburan di mana-mana. Orang-orang sibuk berlalulalang dengan sekeranjang bunga, dupa, arang, kemenyan, buah mengkudu, kendi-kendi tanah liat yang berisi air, dan banyak lagi.
Tempat ini seperti pasar, masing-masing menuju ke satu pusara. Aku mendekati pusara tersebut. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sana. Semakin aku mendekat, perasaanku makin tak karuan. Memang benar, seperti dugaanku, itu adalah pusara Nenek. Tak ada nisan di sana, hanya sebatang orang-orangan yang terbuat dari bambu dan batok kelapa yang sudah kering tertancap di kepala pusara.
Orang-orang di sekelilingku makin sibuk, makin riuh, makin kacau. Mereka sudah mulai membakar kemenyan, menabur bunga, menulis rajah, bahkan tak sedikit pula yang mengangguk dan menggelengkan  kepala dengan irama yang makin cepat. Aku makin tak mengerti. Aku masih berusaha memastikan bahwa apa yang kulihat bukanlah mimpi.
Aku menoleh ke suatu arah ketika suara-suara aneh berebutan menyeruak di sana. Kali ini dari mulut mereka, mengalun mantra, zikir, do’a, dan beragam permintaan yang bergemuruh tak beraturan. Tiba-tiba terdengar lengkingan dari arah pusara. Di atasnya, darah bermuncratan. Seorang balita yang beralaskan rajutan bambu terbaring dengan kepala yang telah terpisah dari lehernya. Aku bergidik.
Aku benar-benar dalam kekalutan dan ketakutan yang sangat. Aku mencari-cari ayah dan ibu, tapi mereka tak tampak lagi. Di belakangku, orang-orang berjejalan. Tak ada lagi celah kosong di tempat ini. Di atas ilalang dan rumput kanji yang meranggas, di bawah pepohonan mahoni, durian hutan, rambai, jati, waru, petai cina, damar, dan aneka tumbuhan hutan lainnya, orang-orang bersimpuh, menyembah-nyembah ke arahku. O bukan, ternyata mereka menyembah pusara yang berada tak jauh dariku. O o, mereka juga duduk di dahan-dahan pohon. Bahkan, tak sedikit yang bergelayutan di sana. Suara mereka makin bergemuruh. Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Tiba-tiba napasku sesak. Aku terhuyung, jatuh ke tanah.
“Tak ada yang mengalahkan tumbal ini, Om. Siapkanlah permohonanmu pada Nenek dari sekarang.  Nenek pasti bangkit dan tiada mungkin Tuhan Gusti menolak permintaannya. Kau tak ingin hidup di balik jeruji, ‘kan?”
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar. Samar-samar kulihat ayah mengangguk pelan, dan ibu menangis tak berdaya di sampingnya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku seperti digotong di atas tandu yang terajut dari bambu. Aku tak ingat apa-apa lagi.

16.44, Lubuklinggau, 08 Februari 2008

1 Komentar »

  1. ini dia, cerpen yang dulu beni bilang. trims benny, aku baca ni. walaupun meminang fatimahmu belum kau kirim-kirim. Unik banget ni cerpen. gak nyangka kamu udah jadi sastrawan ya…

    Komentar oleh andrian — April 1, 2009 @ 11:06 am | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.