Cerpen Padang Ekspres

Juni 1, 2008

Uang Jemputan

Filed under: Uncategorized — cerpenpadek @ 8:51 am

Hari menjelang petang. Gema takbir sudah berkumandang. Besok lebaran haji. Hujan belum juga reda. Sejak selepas Zuhur Abdie tak bisa apa-apa. Hanya berganti koran dan majalah saja di tangannya. Abdie tampak gelisah. Tak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya, meski sebenarnya banyak rencana yang sudah disusunnya. Panjar orgen belum dibayar, begitupun dengan panjar kursi, tenda, pelaminan dan katering. Jika tak dibayar sesore ini, alamat pesanan itu akan dibatalkan sepihak pemiliki kursi, tenda, pelaminan dan katering.
Undangan sudah disebar. Tak mungkin diundur. Kalaupun bisa, tentu orang akan tertawa. Pernikahan Abdie diundur gara-gara tak dapat kursi, tenda, pelaminan dan katering. Kalau ini terjadi, maka akan tertawalah dunia. Kemanalah muka akan disurukkan, padahal ini tak seberapa jika dibandingkan pergolakan batin dan materil yang sudah dilaluinya. Perjuangan terberat itu, sebenarnya sudah dilalui. Kalau hanya gara-gara ini, tak tahulah! Pergolakan terberat yang sudah dilalui Abdie justru meyakinkan orangtua dan mamaknya. Keluarganya masih memegang teguh adat istiadat yang sudah terun temurun dari nenek moyangnya. Tak akan tergoyahkan oleh badai sekalipun. Ketika manapiak bandua1, orangtua dan mamak meminta agar anak kemenakannya dijapuik2 senilai 150 ameh3. Adat disauak, limbago dituang4. Selaku orang Padang yang terikat dengan adat, keluarga perempuanlah yang meminang laki-laki. Pinangan keluarga perempuan baru bisa diterima kalau sudah mengabulkan permintaan panjapuik.
Panjapuiknyo beragam. Ada yang meminta uang senilai benda tertentu, atau ada yang langsung meminta benda tersebut. Nilainya tidak tetap. Umumnya, besar kecilnya nilai panjapuik tergantung pekerjaan lelaki yang dipinang. Makin jelas dan pasti pekerjaannya, makin tinggi nilai jemputannya. Dari banyak profesi yang ada, nilai jemputan untuk perwira militer paling tinggi, diikuti dokter. Untuk jemputan dokter seperti Abdie, uang jemputan senilai 150 ameh tidaklah terlalu tinggi. Pernah sopir oyak5 saja dijemput keluarga perempuan senilai 10 ameh. Hanya saja, bagi keluarga Diah, yang juga orang Padang, nilainya terasa tinggi. Keduanya hanya guru yang hidup pas-pasan dari bulan ke bulan menghidupi Diah dan dua adiknya. “Bukan materinya, tetapi ini bagian dari harga diri kita di kampung dimuka adat. Makin tinggi nilai panjapuiknya, makin tinggi nilai kita dipandang orang kampung,” terang Rukiyah, mande6 Abdie. “Kalau waang tak mau, silakan protes ke mamak waang. Jangan pada saya,” jawab ibunya berang, ketika Abdie protes mengenai uang panjapuik itu.
Abdie punya alasan yang masuk akal. Ia sudah lama pacaran dengan Diah. Lagi pula, Diah juga bekerja. Di sebuah perusahaan swasta. Untuk pernikahannya, tentu saja Diah dan keluarganya mempersiapkan biaya yang tak sedikit. Tak hanya untuk dapur, tetapi juga untuk kamar. Jika ditambah beban uang jemputan, berapalah biaya yang harus dipersiapkannya. Tak terbayangkan oleh Abdie. Tapi aturan adat yang dipakai orangtua dan mamaknya tak bisa ditawar-tawar. Apapun alasan masuk akal yang ditawarkan Abdie, tetap saja tak bisa diterima. Mau protes langsung pada mamaknya, Abdie belum berani. Terlalu dini baginya menantang kemauan mamaknya, Datuak Rangkayo Mulie, pemuka adat terpandang di kampungnya. Keputusan mamaknya merupakan keputusan tertinggi di dalam kaum dan kampungnya. Tak seorangpun yang bisa mengubah keputusan Datuak Rangkayo Mulie. Dalam kegelisahan setelah keluarga Diah manapiak bandua, lama Abdie mencari akal untuk menuntaskan impiannya mempersunting gadis pujaannya itu. Bagi Abdie, Diah merupakan sosok gadis dambaan.
Kini harapan mempersunting gadis itu, sebenarnya sudah di depan mata, tetapi syarat yang diajukan orangtua dan mamaknya sangat tinggi. Sulit untuk dipenuhi pada masa sulit ini. Abdie terus memeras otak. Status sosial yang disandangnya, seakan membuatnya berjarak dengan kehidupan sesungguhnya. Status yang seharusnya dihargai sebagai profesi, justru dapat ditakar dengan rupiah. Jarak itu pula yang membuatnya terlambat menikah. Pernah beberapa kali ada yang datang kepada keluarganya, namun jemputan yang dipatok keluarganya justru di atas nilai sekarang. Abdie tak ingin kesempatan kali ini sia-sia. Ia yakin keluarga Diah akan kesulitan memenuhi permintaan keluarganya. Kalau itu terjadi, bisa saja pernikahan hanya ada dalam angan. Abdie terus memeras otak untuk dapat membantu keluarga Diah. Sebagai sarjana kedokteran yang belum memiliki izin praktek, tak banyak simpanan yang dimilikinya. Dalam kebingungan, antara ada dan tiada jalan keluar, senyum Abdie mengambang ketika pikirannya tertuju ke gudang obat-obatan di rumah sakit.
***
Ada perasaan tak enak pada Abdie, ketika mande dan Datuak Rangkayo Mulie menghitung kembali uang yang diantarkan ayah dan ibu Diah, tak lama setelah calon mertuanya itu pergi. “Waang7 lihatlah uang ini. Siapa bilang mereka tak punya uang. Ini pun belum seberapa jika dibandingkan dengan mendapatkan minantu8 dokter,” kata mande sembari merapikan uang-uangnya. Abdie tak menjawab, tapi hatinya geram. Dirinya telah diperjualbelikan adat. Ditentangnya adat, sama artinya ia menentang aturan tanah leluhur, menentang mande dan mamak. Di tanah leluhurnya, kalau menentang adat, bisa dibuang sepanjang adat. Kalau itu terjadi, ia harus meninggalkan kampungnya untuk selamanya. Tak mungkin untuk pulang, walau sejenak.
Abdie tak bisa membayangkan kalau uang itu tetap berada di tangannya. Sepekan lalu uang itu diserahkannya kepada keluarga Diah untuk diberikan kepada keluarganya. Kalaulah uang itu menjadi miliknya, akan banyak rencana yang dilakukannya. Terutama untuk membangun ruang praktek jika izin praktek sudah dikantonginya. Uang itu akan lebih berarti dipergunakannya ketimbang sampai ke tangan mamak dan mande. Ia tahu siapa mamaknya.. Meski sudah berbini9 tiga, tetap saja punya karisma yang mampu menaklukan hati cewek. Tak gadis, tak janda. Istri orangpun sering terpikat padanya. Padahal Datuak Rangkayo Mulie tak memiliki ilmu kebatinan sama sekali, juga tak ada pamanih10. Kesehariannya, Datuak Rangkayo Mulie terkenal sebagai orang yang santun terhadap siapa saja. Tutur sapanya lemah lembut. Tapi Ia tegas dalam bersikap dan selalu adil dalam membuat keputusan. Ibadahnya kuat. Terhadap aturan adat, Datuak Rangkayo Mulie tak bisa ditawar-tawar.
Abdie juga tahu siapa mandenya. Di mata Abdie, mandenya terlalu pemurah. Jika sudah beruang, ada saja yang akan dibantunya. Tak hanya lingkungan keluarga dekat, orang-orang yang tak ada hubungan keluarga dengannya pun dibantu. Apalagi kalau ada yang minta bantuan untuk makan atau sekolah, mande akan taroroh dibuatnya. Apa saja yang ada padanya akan diberikan. Pernah suatu kali, ketika Abdie meminta uang semester, secara bersamaan datang tetangga mengadu. Katanya meminjam uang. Dua anaknya sudah diusir dari sekolah karena masing-masing sudah enam bulan uang sekolahnya belum dibayar. Jatah uang semester Abdie pun diberikan kepada tetangga tersebut. Perasaan Abdie semakin tak enak, kian gundah ketika mande membagi-bagikan uang panjapuik itu. Dirinya dapat lima persen. Kata mande, untuk memulai hidup baru. Mande lima puluh persen. Datuak Rangkayo Mulie dua puluh persen. Sisanya dibagi seluruh keluarga yang hadir ketika mambukak kado11.
***
Keceriaan di rumah Rukiyah, menjelang petang, terhenti sejenak. Semua mata tertuju ke halaman depan rumah. Sebuah mobil patroli polisi berhenti. Tiga orang keluar dari dalam mobil. Dua di antaranya mengenakan seragam polisi lengkap. Rukiyah menyongsong keluar, diikuti Diah, yang datang bersama Abdie sejak pagi. Abdie juga mengikuti, tapi langkahnya tersendat-sendat. “Benarkah ini rumah Buk Rukiyah, orang tuanya Abdie, Bu?” tanya salah seorang berpakaian seragam lengkap. Rukiyah membenarkan. “Saya sendiri Rukiyah. Ini Abdie. Silakan masuk dulu,” ajaknya. “Terima kasih, bu. Kami hanya ingin memberikan surat ini kepada Abdie dan sekaligus bermaksud membawa Abdie ke kantor,” jelas yang berpakaian preman sembari memberikan surat itu kepada Abdie. Abdie menerimanya, lalu disuruh baca oleh yang memberikan surat itu. “Surat apa? Ada apa dengannya?” tanya Rukiyah heran. Diah malah sudah cemas, takut dan menangis.
“Surat penangkapan, bu. Ada laporan dari rumah sakit, Abdie mencuri obat-obatan,” jawab petugas berseragam. Bagaikan disambar petir, Rukiyah tersentak. Ia tak percaya. Tapi Abdie sudah melangkah menuju mobil patroli sembari dituntun dua petugas. Diah meraung. Menahan langkah suaminya. Rukiyah pun mengejar. Mencoba menahan langkah petugas yang membawa anaknya. “Benarkah waang mencuri?” tanya Rukiyah kepada Abdie. Yang ditanya hanya diam sembari tetap melangkah. Rukiyah mengulangi pertanyaan. Abdie menjawab dengan anggukan. Rukiyah tersentak. Tangis Diah makin keras sembari tetap mencoba menahan langkah suaminya. Polisi berusaha untuk terus memberikan jalan kepada Abdie menaiki mobil patroli yang sedari tadi mesinnya masih hidup. Tetangga pun mulai berdatangan. “Waang pergunakan untuk apa uangnya?” Rukiyah melanjutkan pertanyaan. Dadanya turun naik tak karuan. “Membantu keluarga Diah, penambah uang jemputan,” Abdie menjawab enteng.

Hujan di awal tahun,2-3 Januari 2007

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.